BBM Labil

Harga bensin yang fluktuatif membuat kita seolah dipermainkan. Tetap saja, sejak pemerintah memutuskan harga premium menjadi Rp 8.500,- masyarakat resah. Kini, setelah harga diturunkan menjadi Rp 7.600,- masih saja ada yang prtotes. Ini, lah. Itu, lah. Ya, tapi itulah masyarakat kita. Masih ada budaya demo, protes. Sebenarnya, budaya yang seperti itu milik siapa? Bukankah seharusnya kita menyelesaikan persoalan dengan damai sesuai yang tercantum dalam UUD dan Pancasila?

Kembali pada persoalan harga BBM yang turun pada 1 Januaro 2015 lalu. Masih saja ada yang protes. Mereka berkata “Dulu harga BBM Rp 6.500,- naik menjadi Rp 8.500,- kemudian turun menjadi Rp 7.600,-. Yang seperti itu tetap saja naik. Mengapa tidak dari dulu saja menaikkan harga BBM dari Rp 6.500,- menjadi Rp 7.600,-? Tetap saja naik Rp 1.100,-, bukan?” Begitulah. Masih ada saja pembicaraan yang seperti itu. Saya juga tidak menyangka. Ya, tetapi memang jika dipikir benar juga sih.

Rabu, 31 Januari 2014 saya ke sebuah pom bensin di Blora. Saya tidak ada pikiran apa-apa kecuali pom bensinnya sepi mengingat informasi harga turunnya BBM sudah diumumkan dan akan terjadi besok paginya, 1 Januari 2015. Tetapi saya terkejut mendapati pom bensin yang sangat ramai.

1

Saya sih wajar-wajar saja melihat pom bensin ramai karena malam harinya adalah perayaan tahun baru yang berarti jalan akan macet karena ada pesta kembang api yang sudah dipastikan akan ramai penonton. Yah tetapi, tetap saja. Harga BBM yang esoknya akan turun tetap membuat saya bingung mengapa ramai sekali pom bensin pada siang hari itu. Pertanyaan saya adalah, “Apakah mereka tidak mau menunggu sampai keesokan harinya, ketika harga premium sudah turun?” Yah, yang seperti itu adalah pilihan.

Kita bahas tema yang di atas tadi mengapa ada demo dan protes pada kenaikan BBM. Jadi begini. Manusia adalah makhluk yang tidak cepat puas. Jadi apapun yang ada di pkiran manusia kalau tidak dikeluarkan nantinya juga akan berpengaruh pada kondisi psikis manusia itu sendiri. Nah, dengan demo dan protes, maka akan ada suatu kelegaan tersendiri dari dalam diri manusia.

Lalu di Indonesia sendiri juga terjadi demo karena masyarakat ingin suaranya didengar. Padahal di Pancasila dan UUD 1945 sudah mengatakan musyawarah untuk menyelesaikan sebuah persoalan. Tetapi tetap saja, masih ada yang berpikir bahwa demo adalah cara yang tepat karena didengar lebih cepat dan langsung ada penanganan. Pendapat mereka adalah kalau lewat musyawarah maka nanti akan ada musyawarah yang lebih lanjut, lanjut, dan lanjut lagi.

Kalau berpikir seperti satu paragraf di atas, maka tidak akan ada habisnya. Yah, tetapi masyarakat kita adalah yang menganut Pancasila dan UUD 1945 serta didukung adat istiadat yang sangat teratur. Ini harus menjadi koreksi bagi masyarakat yang masih suka demo dan protes. Karena demo sudah pasti protes, kalau protes belum pasti demo.

Ayolah, kita harus berpikir ulang mengenai kondisi Indonesia saat ini. Tegakkan nilai-nilai luhur Pancasila dan UUD 1945 dengan landasan agama. Jangan sampai naik atau turunnya BBM menjadi masalah yang sampai menelan korban. Berpikirlah dewasa.

Meski jika dipikir-pikir bahwa kenaikan BBM adalah bukan semua masalah mental, tetapi juga masalah keuangan. Tetapi saya yakin bahwa ppemerintah juga sudah memikirkan matang-matang masalah BBM.

18 thoughts on “BBM Labil

  1. Dalam teori gue, protes boleh saja. Namun bukan dengan kekerasan, masih banyak cara lain untuk dapat menyelesaikan. Seperti pihak pemerintah membuka FORUM besar2 dan mengundang presiden UNIVERSITAS lalu menyampaikan akan terjadi seperti apa di negera kita. Gue rasa ini bisa menjadi solusi.

  2. kebanyakan sih memang masalah keuangan, tapi kalau boleh usul mungkin cara berpikir harus dihormati juga 😀

    • Iya nih, karena semuanya ngga masalah keuangan juga, kan.
      Jadi biar rakyat yang kekurangan juga tahu alasannya yang benar.

Leave a reply to Dini Cancel reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.